Jumat, 27 Agustus 2010


 
Ramadhan Kemanusiaan
Tarmizi Taher
Direktur Center for Moderate Muslim (CMM) Indonesia


Jumat, 20 Agustus 2010
Islam adalah rahmatan lil alamin (rahmat bagi seluruh alam). Ajaran Islam tidak diarahkan kepada eksklusivisme seperti membenci agama lain, merendahkan atau memusuhi non-Muslim.
Sikap yang perlu kita junjung adalah mempromosikan toleransi dan kerja sama. Perbedaan agama tidak boleh menjadi penghalang bagi interaksi dan aksi. Sejak awal, Islam senantiasa menganjurkan untuk merangkul umat non-Muslim bekerja sama membangun masyarakat. Maka, dengan sendirinya Islam mempromosikan perdamaian, bukan kekerasan.
Solidaritas merupakan jalan pencerahan bagi setiap ajaran agama. Agama sudah selayaknya berfungsi sebagai etika kehidupan sosial yang menaungi segenap misi kemanusiaan sepanjang zaman.
Dalam sejarah Islam, pada suatu riwayat, pernah diceritakan. Tatkala hari raya Idul Fitri, Nabi Muhammad melihat seorang anak kecil yatim-piatu terpencil berdiri sendirian. Raut mukanya sedih dan dia berusaha untuk menahan air mata dari kegundahan. Bocah itu melihat teman-teman yang seusianya sedang berlebaran, bergembira, memakai baju baru pemberian orangtua, serta menikmati hidangan Lebaran dari keluarga mereka.
Pada saat hari baik itu, anak tersebut merasakan alangkah sedih hatinya ketika melihat orang lain bergembira dan serbakecukupan. Lalu, anak itu melantunkan lagu kesedihan, "Teringat pada nasib diri sendiri, di mana Bapak tempat meminta, di mana tempat Ibu mengadu, di mana tempat rumah untuk pulang, tak ada jawab bagi semua itu."
Ketika melihat anak itu, Nabi Muhammad menghampiri dan bertanya, "Kenapa kamu berdiri sendirian di sini dan di mana rumahmu, nak?"
"Tidak ada, aku yatim piatu," jawab anak kecil itu. Anak itu lalu diam merasakan beban yang sangat mendalam. Hanya air matanya yang bercucuran.
Nabi Muhammad meletakkan telapak tangan kanannya di atas kepala anak yatim piatu itu. Dengan suara penuh cinta kasih, beliau bertanya, "Bersediakah apabila Aisyah menjadi ibumu, Muhammad menjadi bapakmu, dan tempat tinggalku jadi rumahmu?"
Anak itu merasakan kebahagiaan yang besar ketika mendengar tawaran Nabi Muhammad yang diucapkan spontan dan ikhlas. Akhirnya, anak kecil itu merasa bukan yatim piatu lagi. Dia telah mempunyai ibu dan bapak kembali. Anak itu menerima sesuatu yang tak ternilai harganya. Kemudian Nabi Muhammad pun tersenyum. Anak kecil itu segera menghapus air matanya dan mengucap syukur dengan wajah gembira dan senyum yang berseri-seri.
Cerita di atas adalah sekadar contoh bagaimana membangun rasa kemanusiaan dan solidaritas. Ramadhan menjadi bulan yang sangat baik untuk meningkatkan solidaritas dan rasa kemanusiaan kita.
Toleransi dan solidaritas kemanusiaan bukan sekadar mengakui kemajemukan. Kemajemukan memang sebuah realitas, pengakuan bahwa ada realitas agama yang majemuk belum tentu mencirikan penghormatan dan sikap saling menghargai.
Oleh sebab itu, sikap saling menghargai dan saling memahami diwujudkan pula dalam kerja sama mengusung agenda-agenda kemanusiaan. Kehidupan beragama yang sangat rutin, seperti Ramadhan, jika tanpa keprihatinan yang melahirkan tanggung jawab sebagai makhluk ciptaan Allah, toleransi sebagai wujud kemasyarakatan, dan solidaritas sosial sebagai bentuk kerja kemanusiaan, maka akan terasa hambar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar