Jumat, 14 Mei 2010

sekilas band efk rumah kaca


Banyak yang mengatakan kalau musik Indonesia, khususnya pop sedang mengalami stagnansi, Banyak bermunculan grup yang membuat musik-musik “tidak bertanggung jawab”. Kenapa band-band itu-itu saja yang mampu merajai papan atas musik Indonesia? Apa memang selera music orang Indonesia yang sedang mengalami degradasi? Atau label mayor yang semakin tidak peduli dengan kualitas musik, selama itu pop, bertemakan cinta dan catchy maka pasti menjual? Entahlah, faktanya adalah label-label independen lebih mampu menelurkan band-band berkualitas dibanding label mayor.

Untungnya muncul band macam Efek Rumah Kaca, band pop asal Jakarta rilisan Pavilliun Record. Secara musik tidak ada yang baru dari debut album ini, namun lirik dan topik yang diangkat di daam lagu-lagunya sangat segar sehingga musiknya yang minimalis jadi terasa sangat berbobot. Jauh, saya garis bawahi lagi, JAUH, lebih berbobot ketimbang band-band yang saat ini sedang menjual ratusan ribuan kopi. Mendengar band ini membuat saya menghelakan nafas lega. Akhirnya. Kalau orang barat berkata, “there is a light at the end of the tunnel” (akan ada secercah cahaya di ujung lorong)


Band ini lebih mengingatkan saya pada band Indonesia beberapa tahun lalu bernama Kaimsasikun yang pernah muncul dengan lagu “Pria Dijajah Wanita”. Warna vokal Efek Rumah Kaca (ERK) cukup sedikit mengingatkan saya pada Kaimsasikun. Nomor-nomor yang patut disimak dengan seksama ada di “Jatuh Cinta itu Biasa Saja”, “Bukan Lawan Jenis”, “Debu-Debu Berterbangan”, “Melankolia”, “Desember”, dan dua lagu favorit saya secara personal: “Sebelah Mata”, dan “Di Udara”.


Di “Jatuh Cinta itu Biasa Saja” dan “Cinta Melulu”, band ini mengkritik tema lagu Indonesia yang berputar disitu-situ saja. Kritis pedas yang disampaikan dengan lembut. Memang dua lagu ini juga lagu cinta, tapi dibalut dalam kemasan yang berbeda, dan sebenarnya itulah yang kita butuhkan. Kalau tidak bisa mengangkat topic selain cinta, paling tidak coba lihat dari sisi lain. Cinta kan tidak hanya selalu soal pacaran dan selingkuh? Bukan begitu?


Lagu favorit saya di album ini tentu saja “Di Udara”. Walaupun tidak secara eksplisit, lagu ini bercerita tentang kasus (alm.) Munir. Walaupun beliau sudah tiada, tetapi perjuangannya masih hidup dan terus berjalan. Keunikan mereka belum berhenti sampai di situ. Ada lagu seperti “Bukan Lawan Jenis” yang dari judulnya saja sudah kelihatan kalau lagu ini bercerita tentang hubungan sesama jenis. Sedangkan di “Belanja Sampai Mati”, ERK bercerita soal konsumerisme. Lagi-lagi isu sosial yang masih jarang diulas oleh insan musik Indonesia. Salut buat mereka.


Tapi tentunya tidak semua lagu di album self-titled ini bercerita soal isu sosial (atau politik?). Ada lagu macam “Desember” dan “Insomnia”. Jadi jangan takut kalau anda mengira band ini terlalu ekstrim.


Dari lirik-lirik yang ditulis kelihatan kalau band ini kritis and tentunya cerdas dalam pemilihan tema lagu. Menurut saya band seperti inilah yang layak kita resonansikan ke publik luas dan seharusnya banyak diekspos oleh media-media musik Indonesia supaya bisa dijadikan acuan. Efek Rumah Kaca juga seharusnya tidak dianggap sebagai tamparan di muka, tapi lebih kepada tepakan di pundak band-band pop masa kini untuk mencoba lebih keras (dan cerdas). Beberapa waktu lalu saya mewawancarai salah satu pemusik indie dalam kota, dan dia mengatakan bahwa “Lagu bagus atau album bagus itu ibarat kabar baik, dan harus disampaikan pada semua orang.”Maka saya sampaikan kabar ini untuk anda semua yang rindu dengan lagu bagus.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar